Andai Kamu,
Saat matahari terbenam, benakku tergurus pukulan ombak
nan keras tapi saat matahari terbit, benakku memuncak bak menara sekolah yang
tinggi itu...
“Kapankah dia benar-benar
datang untukku?” sahutku yang saat itu sedang berdiri di atas menara
Aku selalu melihat satu
sinar, satu senyuman dan satu sosok yaitu dia. Mungkin semenjak pertama kali
aku melihat murid baru yang duduk di belakangku. Dia penuh dengan kharisma yang
selalu dipancarkan pada semua wanita disekililingnya. Hati ini begitu memuncak
setiap harinya, saat dia mulai memberikan sinar kebaikannya padaku.
“Hey, Ra cepat ke kelas!
Jangan hanya melihatku dari atas sana” teriaknya sambil tersenyum
Wajahku langsung memerah
saat itu juga. Kemudian, aku berlari ke kelas dan ternyata guru baru datang.
Bel sudah berbunyi.
Sebenarnya, selama pelajaran aku memikirkan ucapannya tadi. Apakah dia memang
sudah tahu perasaanku? Ataukah dia memang seperti biasaya yang selalu kepedean
dengan kegantengannya?. Ah, itu terlalu memalukan bagiku! Sudah hampir setengah
bulan ini aku menyembunyikan perasaan tapi akhirnya dia mengetahuinya dan itu
cukup memalukan bagiku.
“Hey, mengapa kau selalu
melamun?” dia menggobrak mejaku
“Ah! Aku tidak melamun cuman
sedang berpikir” jawabku kaget
“Jangan berpikir hal yang
aneh tentangku. Cukup akui perasaanmu”
Aku kaget dan bergumam
“Kapan dia tahu?”
Dia pergi begitu saja
bersama teman-teman wanitanya.
“Ra, hati-hati dengan
pandanganmu pada dia!” sahabatku mendekatiku
“Memang mengapa? Apa ada
yang salah denganku?” aku terlihat bingung dengan ucapan sahabatku
“Dia itu bisa membaca
pikiranmu! Aku pernah terbaca pikiranku olehnya. Ah, itu sangat memalukan!”
“Uh, pantesan dia bicara
padaku tentang apa yang ada dalam pikiranku! Memang kamu pernah dibaca pikiran
tentang apa?”
“Tentang... em...” jawab
sahabatku ragu
“Beritahu aku! Kamu kan
sahabat aku”
“Tentang aku suka padanya”
jawabnya terpatah-patah
Semenjak itu, aku
menyembunyikan segala hal yang berkaitan dengan dia. Aku takut sahabatku itu
terluka bahwa aku juga menyukai dia.
Sore hari, aku masih melangkah menuju rumah sembari
menyusun beberapa kata..
“Dia, bagiku seperti
puzzle baru satu yang aku susun tapi masih beberapa yang masih belum susun.
Dia, bagiku seperti bayangan yang selalu ada di hadapanku, dapat melihatku tapi
aku sendiri tak dapat menyentuhnya atau bahkan membawanya bersamaku. Dia, ada
satu harapan yang muncul dalam benakku selama ini, andai dia...”
“Hey!” dia mengagetkanku
dari belakang
“Kau ini mengapa suka
mengagetkanku sih!”
“Mengapa kau belum pulang?
Mari kita pulang..” sahut dia
“Aku ada kelas tambahan
tadi. Aku tak suka pulang bersamamu!” jawabku mungkin kali ini aku harus
menghindarnya untuk sementara waktu
“Siapa yang mau pulang bersama?
Aku cuman berjalan dan rumah kita lagipula searah” sahut dia.
Ah, dia memang keras
kepala, tak mau kalah dan ingin menang sendiri dalam hal apapun. Tapi, berjalan
berdekatan seperti ini, membuatku batinku berdebar 2x lipat.
“Em, kau masuk kelas seni
ya?” dia bertanya lagi
“Iya” jawabku cuek
“Oh...”
Pagi hari di atas menara ini burung menari serta bersiul
nyanyian indah untukku. Karena, kemarin aku berjalan bersamanya entah kenapa
pemandangan di atas ini serasa romantis dan dipenuhi sinar kehangatan yang
selalu ingin aku rasakan.
“Sungguh luar biasa rasa
cinta ini, bisa merubah segalanya. Sungguh luar misterinya rasa cinta ini, tak
tahu datangnya dari mana dan tak bisa dijelaskan oleh apapun. Sungguh, cinta
ini begitu aneh dikala kita mengetahui kelemahannya tetapi membuat kita merasa
lucu akan hal itu...
Pada waktu itu kelas seni
wajib dilaksanakan. Aku menjadi pengiring piano dalam paduan suara. Tetapi
suara fals seseorang membuat guru memarahinya berulangkali.
“Hei, bukan begitu tapi
cukup suarakan a yang cukup tinggi! Kau ini malah mengacaukan paduan suara!”
bentak guru
Semua orang
mentertawakannya dan orang yang dimarahi itu adalah dia.
“Haha.. dia memang sangat
lucu kala itu!” sahutku yang tadi teringat suatu kejadian
Seekor burung menghampiriku
dan seperti memandangku aneh
“Kau mungin melihatku aneh
karena aku hanyalah sesosok kecil di langit, sebutir pasir dan sehelai bulumu
di antara bulu yang indah lainnya. Aku hanya sosok yang tak dia ketahui akan
perasaanku. Aku tak berani untuk memulai membicarakan harapanku padanya, sebuah
harapan yang tak mungkin aku wujudkan dan terlalu sulit tuk diwujudkan”
Tak terasa aku sudah pulang sekolah, kali ini aku akan
berjalan memutar untuk melihat suasana taman kota yang begitu indah.
“Ikuti aku..” dia langsung
meraih tanganku
Aku kaget dan hanya bisa
pasrah..
Setelah sekian lama,
sampailah di sebuah tempat yang sangat indah dengan kolam pancuran yang
disinari lampu berwarna-warni.
“Ada yang ingin aku
sampaikan dan ku harap kau mendengarkannya dengan baik” sahut dia dengan serius
Aku menganggukkan kepala
“Aku.. aku.. sendiri tidak
tahu bagimana mengatakannya. Tapi setelah melihatmu sekian lama, aku merasa
lucu akan sikapmu, dan hidupku berwarna setiap kau ada di sampingku”
“Em, terus?” tanyaku yang
masih kebingungan
“Ku mohon tetaplah untuk
di sampingku yang menghiasi hari-hariku”
Aku sontak terkaget-kaget,
harapanku untuk berada di sampingnya kini menjadi harapan yang bukan palsu atau
bahkan imajinasi! Dia yang menyatakannya padaku, dia yang mengawali dan aku
kini berhak untuk berada di sampingnya sesukaku.
Benakku layaknya di
kelilingi oleh sejuta mawar merah. Hatiku yang begitu dingin menjadi hangat
untuknya. Segala perasaan dan harapan itu kini menjadi nyata.
Satu keping demi keping tentang gambar sosok dirinya
telah aku ketahui. Setiap pulang sekolah aku dan dia pulang bersama. Sekarang,
setiap hari aku selalu melihat senyumannya yang begitu indah.
Pagi hari saat semua orang di kelas sedang rapat tentang
pembagian kelompok..
“Kei? Kau mau berpasangan
dengan siapa?” tanya ketua kelas
“Aku yakin kau akan
memilih Rara” jawab sahabatku
“Bukan, aku pilih kamu”
“Aku? Lho mengapa?
Bukankah kau dekat dengan Rara” tanya sahabatku yang kaget
“Tidak, dia hanya sahabatku”
jawabnya
Perkataannya itu, bak
pisau yang dia tancapkan sendiri pada jantungku. Sakit, sampai tak bisa
bernafas. Aku yang marah memilih lelaki lain untuk menjadi pasanganku.
Kemudian, pulang sekolah aku meminta dia untuk menemuiku.
“Aku tahu yang kau katakan
bukan rasa cinta seperti yang ku rasakan! Tapi tidakkah kau menghargai aku yang
mulai dan terus berharap menjadi salah satu bagian dalam hidupmu?”
“Maaf soal yang tadi aku
tidak mau ada yang mengetahui kalau kita sedekat itu”
“Dan kau memilih sahabatku
sendiri? Apa kau tidak keterlaluan! Maaf aku bukan barang yang mudah kau
permainkan seenaknya!”
Semenjak itu, aku tak pernah bersamanya lagi. Aku muak
melihatnya dan selalu menghindarinya. Kini, di atas menara sekolah aku
berbicara segalanya tentang hatiku..
“Tak tahukah kau? Jika ternyata yang kau pilih
adalah sahabatku bukan aku. Kau hanya terkesima padaku tanpa ada rasa lebih
padaku. Aku tahu ini begitu sulit untukku, begitu menyakitkan dan begitu perih.
Tapi tidak bisakah harapan untuk disampingmu itu bisa terwujud? Ataukah memang
kau tak pantas mewujudkan harapan itu untukku? Jika waktu bisa diputar, jika
hati bisa dibalikkan kembali aku memilih untuk berharap andai, kamu bukan
untukku dan untukku adalah seseorang yang lebih ba
Tidak ada komentar:
Posting Komentar