Halaman

Rabu, 11 Juni 2014

Cerpen : Andai Kamu,

Andai Kamu,
            Saat matahari terbenam, benakku tergurus pukulan ombak nan keras tapi saat matahari terbit, benakku memuncak bak menara sekolah yang tinggi itu...
“Kapankah dia benar-benar datang untukku?” sahutku yang saat itu sedang berdiri di atas menara
Aku selalu melihat satu sinar, satu senyuman dan satu sosok yaitu dia. Mungkin semenjak pertama kali aku melihat murid baru yang duduk di belakangku. Dia penuh dengan kharisma yang selalu dipancarkan pada semua wanita disekililingnya. Hati ini begitu memuncak setiap harinya, saat dia mulai memberikan sinar kebaikannya padaku.
“Hey, Ra cepat ke kelas! Jangan hanya melihatku dari atas sana” teriaknya sambil tersenyum
Wajahku langsung memerah saat itu juga. Kemudian, aku berlari ke kelas dan ternyata guru baru datang.
Bel sudah berbunyi. Sebenarnya, selama pelajaran aku memikirkan ucapannya tadi. Apakah dia memang sudah tahu perasaanku? Ataukah dia memang seperti biasaya yang selalu kepedean dengan kegantengannya?. Ah, itu terlalu memalukan bagiku! Sudah hampir setengah bulan ini aku menyembunyikan perasaan tapi akhirnya dia mengetahuinya dan itu cukup memalukan bagiku.
“Hey, mengapa kau selalu melamun?” dia menggobrak mejaku
“Ah! Aku tidak melamun cuman sedang berpikir” jawabku kaget
“Jangan berpikir hal yang aneh tentangku. Cukup akui perasaanmu”
Aku kaget dan bergumam “Kapan dia tahu?”
Dia pergi begitu saja bersama teman-teman wanitanya.
“Ra, hati-hati dengan pandanganmu pada dia!” sahabatku mendekatiku
“Memang mengapa? Apa ada yang salah denganku?” aku terlihat bingung dengan ucapan sahabatku
“Dia itu bisa membaca pikiranmu! Aku pernah terbaca pikiranku olehnya. Ah, itu sangat memalukan!”
“Uh, pantesan dia bicara padaku tentang apa yang ada dalam pikiranku! Memang kamu pernah dibaca pikiran tentang apa?”
“Tentang... em...” jawab sahabatku ragu
“Beritahu aku! Kamu kan sahabat aku”
“Tentang aku suka padanya” jawabnya terpatah-patah
Semenjak itu, aku menyembunyikan segala hal yang berkaitan dengan dia. Aku takut sahabatku itu terluka bahwa aku juga menyukai dia.
            Sore hari, aku masih melangkah menuju rumah sembari menyusun beberapa kata..
“Dia, bagiku seperti puzzle baru satu yang aku susun tapi masih beberapa yang masih belum susun. Dia, bagiku seperti bayangan yang selalu ada di hadapanku, dapat melihatku tapi aku sendiri tak dapat menyentuhnya atau bahkan membawanya bersamaku. Dia, ada satu harapan yang muncul dalam benakku selama ini, andai dia...”
“Hey!” dia mengagetkanku dari belakang
“Kau ini mengapa suka mengagetkanku sih!”
“Mengapa kau belum pulang? Mari kita pulang..” sahut dia
“Aku ada kelas tambahan tadi. Aku tak suka pulang bersamamu!” jawabku mungkin kali ini aku harus menghindarnya untuk sementara waktu
“Siapa yang mau pulang bersama? Aku cuman berjalan dan rumah kita lagipula searah” sahut dia.
Ah, dia memang keras kepala, tak mau kalah dan ingin menang sendiri dalam hal apapun. Tapi, berjalan berdekatan seperti ini, membuatku batinku berdebar 2x lipat.
“Em, kau masuk kelas seni ya?” dia bertanya lagi
“Iya” jawabku cuek
“Oh...”
            Pagi hari di atas menara ini burung menari serta bersiul nyanyian indah untukku. Karena, kemarin aku berjalan bersamanya entah kenapa pemandangan di atas ini serasa romantis dan dipenuhi sinar kehangatan yang selalu ingin aku rasakan.
“Sungguh luar biasa rasa cinta ini, bisa merubah segalanya. Sungguh luar misterinya rasa cinta ini, tak tahu datangnya dari mana dan tak bisa dijelaskan oleh apapun. Sungguh, cinta ini begitu aneh dikala kita mengetahui kelemahannya tetapi membuat kita merasa lucu akan hal itu...
Pada waktu itu kelas seni wajib dilaksanakan. Aku menjadi pengiring piano dalam paduan suara. Tetapi suara fals seseorang membuat guru memarahinya berulangkali.
“Hei, bukan begitu tapi cukup suarakan a yang cukup tinggi! Kau ini malah mengacaukan paduan suara!” bentak guru
Semua orang mentertawakannya dan orang yang dimarahi itu adalah dia.
“Haha.. dia memang sangat lucu kala itu!” sahutku yang tadi teringat suatu kejadian
Seekor burung menghampiriku dan seperti memandangku aneh
“Kau mungin melihatku aneh karena aku hanyalah sesosok kecil di langit, sebutir pasir dan sehelai bulumu di antara bulu yang indah lainnya. Aku hanya sosok yang tak dia ketahui akan perasaanku. Aku tak berani untuk memulai membicarakan harapanku padanya, sebuah harapan yang tak mungkin aku wujudkan dan terlalu sulit tuk diwujudkan”
            Tak terasa aku sudah pulang sekolah, kali ini aku akan berjalan memutar untuk melihat suasana taman kota yang begitu indah.
“Ikuti aku..” dia langsung meraih tanganku
Aku kaget dan hanya bisa pasrah..
Setelah sekian lama, sampailah di sebuah tempat yang sangat indah dengan kolam pancuran yang disinari lampu berwarna-warni.
“Ada yang ingin aku sampaikan dan ku harap kau mendengarkannya dengan baik” sahut dia dengan serius
Aku menganggukkan kepala
“Aku.. aku.. sendiri tidak tahu bagimana mengatakannya. Tapi setelah melihatmu sekian lama, aku merasa lucu akan sikapmu, dan hidupku berwarna setiap kau ada di sampingku”
“Em, terus?” tanyaku yang masih kebingungan
“Ku mohon tetaplah untuk di sampingku yang menghiasi hari-hariku”
Aku sontak terkaget-kaget, harapanku untuk berada di sampingnya kini menjadi harapan yang bukan palsu atau bahkan imajinasi! Dia yang menyatakannya padaku, dia yang mengawali dan aku kini berhak untuk berada di sampingnya sesukaku.
Benakku layaknya di kelilingi oleh sejuta mawar merah. Hatiku yang begitu dingin menjadi hangat untuknya. Segala perasaan dan harapan itu kini menjadi nyata.
            Satu keping demi keping tentang gambar sosok dirinya telah aku ketahui. Setiap pulang sekolah aku dan dia pulang bersama. Sekarang, setiap hari aku selalu melihat senyumannya yang begitu indah.
            Pagi hari saat semua orang di kelas sedang rapat tentang pembagian kelompok..
“Kei? Kau mau berpasangan dengan siapa?” tanya ketua kelas
“Aku yakin kau akan memilih Rara” jawab sahabatku
“Bukan, aku pilih kamu”
“Aku? Lho mengapa? Bukankah kau dekat dengan Rara” tanya sahabatku yang kaget
“Tidak, dia hanya sahabatku” jawabnya
Perkataannya itu, bak pisau yang dia tancapkan sendiri pada jantungku. Sakit, sampai tak bisa bernafas. Aku yang marah memilih lelaki lain untuk menjadi pasanganku. Kemudian, pulang sekolah aku meminta dia untuk menemuiku.
“Aku tahu yang kau katakan bukan rasa cinta seperti yang ku rasakan! Tapi tidakkah kau menghargai aku yang mulai dan terus berharap menjadi salah satu bagian dalam hidupmu?”
“Maaf soal yang tadi aku tidak mau ada yang mengetahui kalau kita sedekat itu”
“Dan kau memilih sahabatku sendiri? Apa kau tidak keterlaluan! Maaf aku bukan barang yang mudah kau permainkan seenaknya!”
            Semenjak itu, aku tak pernah bersamanya lagi. Aku muak melihatnya dan selalu menghindarinya. Kini, di atas menara sekolah aku berbicara segalanya tentang hatiku..
“Tak tahukah kau? Jika ternyata yang kau pilih adalah sahabatku bukan aku. Kau hanya terkesima padaku tanpa ada rasa lebih padaku. Aku tahu ini begitu sulit untukku, begitu menyakitkan dan begitu perih. Tapi tidak bisakah harapan untuk disampingmu itu bisa terwujud? Ataukah memang kau tak pantas mewujudkan harapan itu untukku? Jika waktu bisa diputar, jika hati bisa dibalikkan kembali aku memilih untuk berharap andai, kamu bukan untukku dan untukku adalah seseorang yang lebih ba

Tidak ada komentar:

Posting Komentar