KETENANGAN YANG SEBENARNYA
Aku terus menatap jendela dan menahan dagu
dengan telapak tangan. Akhir-akhir ini aku banyak sekali masalah. Tak tahu
pertanda apa, tapi aku merasa sangat sial! Pertama masalah dengan sahabatku
Hani. Aku beradu pendapat dengan Hani sampai marah padanya karena dia tidak
menghormati alasanku! Sekarang persahabatan kami sedang retak dan hampir roboh.
Masalah kedua dengan kekasihku. Dia memutuskan aku karena akan bertunangan
dengan wanita idamannya. Aku dan dia beda 4 tahun sedangkan wanita idamannya
hanya beda 1 tahun. Wanita itu juga pintar dan cantik. Aku sangat kesal dan
marah padanya karena membuangku begitu saja. Masalah ketiga dengan orangtuaku
sendiri, ibu marah besar ketika tahu nilaiku hancur gara-gara lelaki yang tega
membuangku. Ibu terus menghina lelaki itu tapi entah kenapa aku membelanya.
Kata kotor terucap tak sengaja dari bibirku, ayah menampar dan mengusirku! Aku
menangis dan keluar dari rumah saat itu juga. Dalam hati aku merasa menyesal
padahal aku ingat betul ibuku memberi nama Hasanah agar selalu berbuat
kebaikan.
Aku
mengeluarkan nafas dalam-dalam mengingat ketiga masalah tersebut. Tiba-tiba
teman sebangku ku, Aisyah menepuk bahu.
“Has, kenapa kaget gituh? Dari tadi aku lihat
kamu hanya melamun saja, emang ada apa?”
“Syah, aku sebenarnya punya masalah yang begitu
sulit. Hari-hariku juga terasa hampa dan tak bersemangat rasanya ingin cepat
tak ada di dunia yang tak indah ini!”
“Lho kok gituh? Menurutku dunia ini indah!
Karena ciptaan Allah swt. Ayo cerita padaku..”
“Gini, tadi aku diusir oleh Ayahku setelah
menampar pipiku. Dan aku tak tahu mesti tinggal dimana..? Aku menitipkan
koperku di bibi kantin”
“Innalillahi… Bagaimana kalau tinggal di
rumahku untuk sementara? Soalnya ayah dan ibuku pergi ke Sumedang menjenguk
nenek”
“Kok innalillahi? Aku kan belum meninggal.
Benarkah aku boleh nginep di rumahmu?”
“Innalillahi itu bukan saja untuk mendengar
orang yang meninggal! Tetapi untuk musibah juga bisa. Boleh donk! Aku kan jadi
punya temen di rumah”
“Oh, gituh. Terimakasih yah..!” sahutku memeluk
Aisyah
Pulang sekolah aku bersama
Aisyah pergi ke rumahnya. Sesampai di rumah Aisyah, aku kaget melihat rumahnya
yang sangat sederhana itu.
“Ayo masuk! Aku tahu kamu tak terbiasa karena
rumahmu sangat bagus” sahutnya dengan senyuman yang manis
Masuk ke rumahnya, aku tak menyangka bahwa
Aisyah yang pintar ini memiliki rumah yang sangat sederhana. Di malam hari, aku
bercerita semua masalah pada Aisyah. Dia mendengarkan dengan baik, aku merasa
nyaman disampingnya. Aisyah memberi nasihat padaku, tapi aku tak marah malahan
merasa senang dan kagum pada kedewasaannya. Padahal dilihat dari bulan
kelahirannya aku lebih tua darinya. Pukul 22.00 kami tidur, tapi aku tak bisa
tidur karena banyak nyamuk.
Keesokan harinya, sepulang
sekolah aku mengikuti saran Aisyah. Kali ini aku menjadikan Aisyah menjadi
guruku. Hal pertama yang Aisyah suruh adalah setiap ba’da sholat maghrib, aku
harus mengikuti pengajian yang berada di mesjid. Aku juga harus ikut liqo dengannya
setiap hari jum’at. Terus Aisyah selalu mengajakku untuk baca al-qur’an selepas
sholat wajib. Dan pada hari senin dan kamis, Isyah selalu membangunkan untuk
sahur. Padahal aku masih ngantuk. Sudah dua minggu aku berada di rumah Aisyah.
Tapi orangtuaku tak menelepon sama sekali! Aku juga merasa bosan dengan aturan
yang harus ku patuhi. Aku benar-benar tak mengerti apa maksud Aisyah menyarankah
ini padaku. Tapi aku patuhi karena dia memberiku iming-iming bahwa semua
masalahku akan tuntas.
Satu bulan kemudian, aku
mulai merasakan sesuatu yang merasuki dada ini. Aku tak mengerti rasanya tenang
sekali dan aku menjadi bersemangat menghadapi dunia ini! Aku menjadi punya
banyak teman yang baik. Kata bahagia dan bersyukur terus bergeming dalam hati.
Ketika ditanyakan kepada Aisyah ini namanya adalah ketenangan yang dihadiahkan
kepadaku. Sebuah ketenangan yang tak bisa ditebus jutaan rupiah diberikan
kepada aku yang telah menjadi hamba-Nya yang berbuat kebaikan. Hari Selasa, HP
milikku berdering keras, aku lari dari toilet ke kamar tidur. Setelah diangkat,
terdengarlah suara ibuku.
“Has,,, maafkan ibu yah nak? Pulang nak, kami
rindu kamu!”
“Seharusnya Hasanah yang minta maaf pada ibu
dan ayah!! Kalau Ibu dan Ayah ingin Hasanah pulang hari ini juga, aku akan pulang”
sahutku sambil menangis
“Baik, biar ibu jemput kamu. Jangan kemana-mana
tunggu kami di rumah Aisyah!”
“Lho kok ibu tahu?”
“Ibu keceplosan lagi!” sahut ayah pada ibu
“Sebenarnya kami tahu dari Aisyah yang
menelepon dan bilang ingin mengubah kamu. Kami sangat senang pada Aisyah! Tapi
tak boleh menelepon setelah satu bulan kemudian”
“Begitu yah, jadi ini semua Aisyah yang
rencanain..”
Tiba-tiba Aisyah menghampiri aku dan berkata “Iya,
itu aku yang rencanain. Hasanah maaf yah! Aku ingin kamu berubah!”. Walaupun
aku sudah masuk jebakan Aisyah, tapi aku senang karena ada teman yang dengan
ikhlas merubahku menjadi anak yang baik sesuai namaku, Hasanah. Siang hari, aku
sudah bersiap-siap. Terdengar suara klakson mobil dan segera keluar rumah. Aku berlari
dan memeluk ibu, lalu berlutut di depan ayah dan ibu agar memaafkan
kesalahanku. Aku tak yakin akan dimaafkan tapi ternyata ayah dan ibu
memaafkanku dan menyambut dengan baik. Ketika koper dimasukan ke bagasi mobil,
aku pamit pada Aisyah dan mengucapkan kata terimakasih sebanyak-banyaknya. Dia
sudah mengubahku menjadi muslimah yang sholehah, muslimah yang memakai kerudung
dan pakaian yang tak ketat lagi. Air mata menetes karena tak kan bisa tidur
bersama lagi. Pagi hari, aku bersemangat sekali. Dengan seragam yang serba
panjang, aku menyapa semua teman. Mereka kaget sekali melihatku yang berubah
180 derajat! Bel berbunyi panjang tandanya pulang sekolah. Aku mengajak Aisyah
menemui Hani, sobatku. Dari kejauhan Hani terlihat cemberut ketika aku membuat
janji bertemu dengannya. Ketika mendekat, dia kaget melihatku memakai seragam
khas muslimah. Aku menceritakan atas perubahan ini. Kemudian aku ucapkan kata
maaf karena telah membuat persahabatan ini retak. Hani memaafkanku tapi ia
ingin persahabatan yg dibangun semenjak kelas 6 SD segera berahir. Aku
meneteskan air mata karena dengan mudahnya dia mengakhiri persahabatan ini,
tapi aku menghargai keputusannya dan menyetujui permintaan itu. Dengan sikap
dingin Hani pergi begitu saja. Aisyah menepuk bahuku agar senantiasa bersabar
dan menyerahkan kesedihannya pada Allah. Pukul 15.00 aku pulang ke rumah. Aku
salam pada ayah dan ibu, mereka menanyakan kenapa aku telat pulang sekolah. Aku
jawab dengan sopan bahwa telah menyelesaikan masalah dengan Hani. Setelah hati
ini tenang, aku menelepon mantan kekasihku. Ternyata yang mengangkatnya wanita idaman
mantanku! Dia berkata sangat kasar, aku tersenyum mendengarnya. Ternyata
pilihan yang terbaik itu sangat tidak sopan. Kemudian, terdengar suara lelaki
itu. Kata maaf aku lontarkan dengan mudah, lelaki itu juga memaafkan aku.
Selesai menelepon aku sadar akan kuasa Allah. Allah swt telah memberiku nikmat
dengan ketenangan yang sangat mahal ini. Allah swt juga telah menampakkan
padaku orang-orang yang tak terbaik untukku. Orang yang aku kira baik ternyata
dibalik semua itu mereka sangat tidak sopan dan kurang ajar. Malahan orang yang
sering ku remehkan yaitu Aisyah menjadi teman terbaikku yang menjadikanku ke
jalan yang lurus dan benar.
Semenjak
perubahanku, prestasi selalu terukir. Guru-guru yang membenciku menjadi bangga
dan sayang padaku. Itu semua karunia Allah swt, sebuah hadiah besar dari Allah
swt yang mengirim Aisyah untuk merubahku dan membuat hidupku lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar