Halaman

Sabtu, 06 Oktober 2012

Cerpen :KETENANGAN YANG SEBENARNYA



KETENANGAN YANG SEBENARNYA
Aku terus menatap jendela dan menahan dagu dengan telapak tangan. Akhir-akhir ini aku banyak sekali masalah. Tak tahu pertanda apa, tapi aku merasa sangat sial! Pertama masalah dengan sahabatku Hani. Aku beradu pendapat dengan Hani sampai marah padanya karena dia tidak menghormati alasanku! Sekarang persahabatan kami sedang retak dan hampir roboh. Masalah kedua dengan kekasihku. Dia memutuskan aku karena akan bertunangan dengan wanita idamannya. Aku dan dia beda 4 tahun sedangkan wanita idamannya hanya beda 1 tahun. Wanita itu juga pintar dan cantik. Aku sangat kesal dan marah padanya karena membuangku begitu saja. Masalah ketiga dengan orangtuaku sendiri, ibu marah besar ketika tahu nilaiku hancur gara-gara lelaki yang tega membuangku. Ibu terus menghina lelaki itu tapi entah kenapa aku membelanya. Kata kotor terucap tak sengaja dari bibirku, ayah menampar dan mengusirku! Aku menangis dan keluar dari rumah saat itu juga. Dalam hati aku merasa menyesal padahal aku ingat betul ibuku memberi nama Hasanah agar selalu berbuat kebaikan.
          Aku mengeluarkan nafas dalam-dalam mengingat ketiga masalah tersebut. Tiba-tiba teman sebangku ku, Aisyah menepuk bahu.
“Has, kenapa kaget gituh? Dari tadi aku lihat kamu hanya melamun saja, emang ada apa?”
“Syah, aku sebenarnya punya masalah yang begitu sulit. Hari-hariku juga terasa hampa dan tak bersemangat rasanya ingin cepat tak ada di dunia yang tak indah ini!”
“Lho kok gituh? Menurutku dunia ini indah! Karena ciptaan Allah swt. Ayo cerita padaku..”
“Gini, tadi aku diusir oleh Ayahku setelah menampar pipiku. Dan aku tak tahu mesti tinggal dimana..? Aku menitipkan koperku di bibi kantin”
“Innalillahi… Bagaimana kalau tinggal di rumahku untuk sementara? Soalnya ayah dan ibuku pergi ke Sumedang menjenguk nenek”
“Kok innalillahi? Aku kan belum meninggal. Benarkah aku boleh nginep di rumahmu?”
“Innalillahi itu bukan saja untuk mendengar orang yang meninggal! Tetapi untuk musibah juga bisa. Boleh donk! Aku kan jadi punya temen di rumah”
“Oh, gituh. Terimakasih yah..!” sahutku memeluk Aisyah
Pulang sekolah aku bersama Aisyah pergi ke rumahnya. Sesampai di rumah Aisyah, aku kaget melihat rumahnya yang sangat sederhana itu.
“Ayo masuk! Aku tahu kamu tak terbiasa karena rumahmu sangat bagus” sahutnya dengan senyuman yang manis
Masuk ke rumahnya, aku tak menyangka bahwa Aisyah yang pintar ini memiliki rumah yang sangat sederhana. Di malam hari, aku bercerita semua masalah pada Aisyah. Dia mendengarkan dengan baik, aku merasa nyaman disampingnya. Aisyah memberi nasihat padaku, tapi aku tak marah malahan merasa senang dan kagum pada kedewasaannya. Padahal dilihat dari bulan kelahirannya aku lebih tua darinya. Pukul 22.00 kami tidur, tapi aku tak bisa tidur karena banyak nyamuk.
Keesokan harinya, sepulang sekolah aku mengikuti saran Aisyah. Kali ini aku menjadikan Aisyah menjadi guruku. Hal pertama yang Aisyah suruh adalah setiap ba’da sholat maghrib, aku harus mengikuti pengajian yang berada di mesjid. Aku juga harus ikut liqo dengannya setiap hari jum’at. Terus Aisyah selalu mengajakku untuk baca al-qur’an selepas sholat wajib. Dan pada hari senin dan kamis, Isyah selalu membangunkan untuk sahur. Padahal aku masih ngantuk. Sudah dua minggu aku berada di rumah Aisyah. Tapi orangtuaku tak menelepon sama sekali! Aku juga merasa bosan dengan aturan yang harus ku patuhi. Aku benar-benar tak mengerti apa maksud Aisyah menyarankah ini padaku. Tapi aku patuhi karena dia memberiku iming-iming bahwa semua masalahku akan tuntas.
Satu bulan kemudian, aku mulai merasakan sesuatu yang merasuki dada ini. Aku tak mengerti rasanya tenang sekali dan aku menjadi bersemangat menghadapi dunia ini! Aku menjadi punya banyak teman yang baik. Kata bahagia dan bersyukur terus bergeming dalam hati. Ketika ditanyakan kepada Aisyah ini namanya adalah ketenangan yang dihadiahkan kepadaku. Sebuah ketenangan yang tak bisa ditebus jutaan rupiah diberikan kepada aku yang telah menjadi hamba-Nya yang berbuat kebaikan. Hari Selasa, HP milikku berdering keras, aku lari dari toilet ke kamar tidur. Setelah diangkat, terdengarlah suara ibuku.
“Has,,, maafkan ibu yah nak? Pulang nak, kami rindu kamu!”
“Seharusnya Hasanah yang minta maaf pada ibu dan ayah!! Kalau Ibu dan Ayah ingin Hasanah pulang hari ini juga, aku akan pulang” sahutku sambil menangis
“Baik, biar ibu jemput kamu. Jangan kemana-mana tunggu kami di rumah Aisyah!”
“Lho kok ibu tahu?”
“Ibu keceplosan lagi!” sahut ayah pada ibu
“Sebenarnya kami tahu dari Aisyah yang menelepon dan bilang ingin mengubah kamu. Kami sangat senang pada Aisyah! Tapi tak boleh menelepon setelah satu bulan kemudian”
“Begitu yah, jadi ini semua Aisyah yang rencanain..”
Tiba-tiba Aisyah menghampiri aku dan berkata “Iya, itu aku yang rencanain. Hasanah maaf yah! Aku ingin kamu berubah!”. Walaupun aku sudah masuk jebakan Aisyah, tapi aku senang karena ada teman yang dengan ikhlas merubahku menjadi anak yang baik sesuai namaku, Hasanah. Siang hari, aku sudah bersiap-siap. Terdengar suara klakson mobil dan segera keluar rumah. Aku berlari dan memeluk ibu, lalu berlutut di depan ayah dan ibu agar memaafkan kesalahanku. Aku tak yakin akan dimaafkan tapi ternyata ayah dan ibu memaafkanku dan menyambut dengan baik. Ketika koper dimasukan ke bagasi mobil, aku pamit pada Aisyah dan mengucapkan kata terimakasih sebanyak-banyaknya. Dia sudah mengubahku menjadi muslimah yang sholehah, muslimah yang memakai kerudung dan pakaian yang tak ketat lagi. Air mata menetes karena tak kan bisa tidur bersama lagi. Pagi hari, aku bersemangat sekali. Dengan seragam yang serba panjang, aku menyapa semua teman. Mereka kaget sekali melihatku yang berubah 180 derajat! Bel berbunyi panjang tandanya pulang sekolah. Aku mengajak Aisyah menemui Hani, sobatku. Dari kejauhan Hani terlihat cemberut ketika aku membuat janji bertemu dengannya. Ketika mendekat, dia kaget melihatku memakai seragam khas muslimah. Aku menceritakan atas perubahan ini. Kemudian aku ucapkan kata maaf karena telah membuat persahabatan ini retak. Hani memaafkanku tapi ia ingin persahabatan yg dibangun semenjak kelas 6 SD segera berahir. Aku meneteskan air mata karena dengan mudahnya dia mengakhiri persahabatan ini, tapi aku menghargai keputusannya dan menyetujui permintaan itu. Dengan sikap dingin Hani pergi begitu saja. Aisyah menepuk bahuku agar senantiasa bersabar dan menyerahkan kesedihannya pada Allah. Pukul 15.00 aku pulang ke rumah. Aku salam pada ayah dan ibu, mereka menanyakan kenapa aku telat pulang sekolah. Aku jawab dengan sopan bahwa telah menyelesaikan masalah dengan Hani. Setelah hati ini tenang, aku menelepon mantan kekasihku. Ternyata yang mengangkatnya wanita idaman mantanku! Dia berkata sangat kasar, aku tersenyum mendengarnya. Ternyata pilihan yang terbaik itu sangat tidak sopan. Kemudian, terdengar suara lelaki itu. Kata maaf aku lontarkan dengan mudah, lelaki itu juga memaafkan aku. Selesai menelepon aku sadar akan kuasa Allah. Allah swt telah memberiku nikmat dengan ketenangan yang sangat mahal ini. Allah swt juga telah menampakkan padaku orang-orang yang tak terbaik untukku. Orang yang aku kira baik ternyata dibalik semua itu mereka sangat tidak sopan dan kurang ajar. Malahan orang yang sering ku remehkan yaitu Aisyah menjadi teman terbaikku yang menjadikanku ke jalan yang lurus dan benar.
          Semenjak perubahanku, prestasi selalu terukir. Guru-guru yang membenciku menjadi bangga dan sayang padaku. Itu semua karunia Allah swt, sebuah hadiah besar dari Allah swt yang mengirim Aisyah untuk merubahku dan membuat hidupku lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar