Air mata bersama
Hari sabtu, hari
awal mengarungi tantangan. Hari ini begitu senang, aku bisa memakai pakaian
Tsanawiyyah yang warnanya cream dan rok yang berwarna coklat. Ketika siap
dikerudung, aku menanti teh Dini yang sedang memakai kerudung putihnya. Dia
terlihat mahir sekali dalam memakai. Giliran aku yang dikerudung oleh teh Dini.
Aku tak bisa dan tak sempat latihan memakai kerudung hoas ini. Kerudung yang
aku pakai panjangnya 1,5 m cukup panjang. Warnanya juga kuning agak kecoklatan.
Setelah belit sana sini, akhirnya aku sudah dikerudung. Hasilnya memuaskan rapih
sekali. Saat aku menuju kelas yang baru yaitu kelas 7B, di sana sudah terlihat Hanna yang duduk sendiri. Aku
sudah berjanji untuk duduk bersama dan Hanna yang menempati tempat duduk
duluan. Dengan senyuman yang penuh bahagia, aku salam dan duduk disamping
Hanna.
“Irma, kamu sangat rapih dikerudungnya? Padahal aku saja masih
kesulitan untuk memakai”
“Iya donk, karena aku dikerudung oleh teh Dini hehe…” senyumku
lebar
“Em… pantesan!”
Tiba-tiba bel berbunyi. Semua murid segera masuk dan membaca doa
belajar bersama kemudian membaca al-qur’an. Kami sudah tahu kegiatan yang mesti
kami patuhi. Ketika ta’aruf, kakak kelas memberitahu dan menuliskan doa
belajar. Tak lama seorang ustadzah masuk ke kelas baruku. Ustadzah itu member salam
dan memperkenalkan namanya. Nama beliau adalah ustadz Rahmi.
“Em, sebelum memulai pelajaran shorof, saya ingin bertanya. Siapa
yang disini lulusan SD yang tidak mengikuti Diniyyah terlebih dahulu?”
Saya dan temanku yang bernama Herti mengangkat tangan.
“Jadi Cuman dua orang ya. Saya akan memberikan keringanan kepada
lulusan SD dalam menalar ketika pelajaran saya. Wajar, jika lulusan SD pasti
kesulitan menghafal” sahutnya
Aku begitu senang sekali ada ustadzah yang begitu mengertiku.
Sebagai lulusan SD dan pernah mengikuti diniyyah kemudian tidak ikut lagi, aku
selalu sulit dalam hafalan.
Setelah bel
berbunyi berakhir, aku menghela nafas dalam-dalam. Baru saja hari pertama sudah
diberi tugas talaran sekitar satu lembar setengah! Apalagi tulisannya tidak
hanya bahasa Indonesia juga bahasa arab.
Pulang sekolah,
aku begitu berat dengan banyak tugas. Ternyata benar apa yang kakak perempuanku
ucapkan bahwa disini banyak talaran! Tapi aku belum menyerah untuk sekolah di
Pesantren. Di Pameungpeuk sangat ramai sekali. Bahkan terkadang menjadi macet
karena banyak murid yang menyebrang. Suasana disini juga panas sekali berbeda
dengan kampung halamanku yang masih sejuk dan tidak sepanas suasana di sini! Saat
langkah menginjak rumah, aku mengucapkan salam dan segera ke kamar.
Sore hari, aku
mencoba membuka buku shorof. Helaan nafas sudah keluar beberapa kali. Tapi aku
harus hafal karena ini kewajibanku. Meski ku tahu talarannya minggu depan
tetapi, aku tidak bisa menghafal dalam seharian dan ku coba menghafal seminggu
dimulai hari ini. Berulangkali aku baca masih saja belum bisa, bahkan
separagraf pun masih tidak hafal. Sudah beragam cara ku lakukan berjalan
bolak-balik, sambil mengaca dan membacanya dengan suara yang cukup keras.
Kemudian aku menyerah untuk menghafal dan menutup buku. Tak lama, aku lihat teh
Dini yang masuk kamar. Aku segera menyusulnya. Air mata yang turun dari pipinya
membuat suasana semakin mencekam. Aku tak mengerti yang terjadi dan teh Dini
bersedia membalas pertanyaanku.
“Kamu tahu? Aku sakit hati jika melihat sikap bibi yang selalu
membeda-bedakan antara aku dan teh Aini”
Aku masih tak mengerti dengan perkataannya. Yang membuatku bingung
perlukah mendapat kasih sayang dari bibi!
“Siapa teh Aini?”
“Teh Aini itu yang tadi ada di rumah. Ketika aku menghampiri bibi,
teh Aini sedang bermanja dengannya dan membuatku tersingkir”
“Teh Aini itu siapanya bibi” aku mencoba mengulang pertanyaan dan
menambahkan kata-kata
“Teh Aini itu alumni Mu’alimin. Dia sangat dekat dengan bibi.
Bahkan sudah dianggapnya sebagai ibunya”
“Ooh…” sahutku yang sudah paham
Tapi pertanyaan itu masih bergelayut dalam hati “Apa perlu mendapat
kasih sayang dari bibiku? Kalau perlu buat apa?”.
Melihat air mata yang deras keluar membuat hatiku mencekam. Aku
baru melihat teh Dini menangis seperti ini.
Seminggu
kemudian, aku siap menalar ilmu shorof. Tetapi aku masih kesal dengan diriku
yang masih terbata-bata. Ketika Hanna terpanggil, aku merasa deg-degan. Aku
tahu masih ada Hani yang mesti dipanggil ke depan tetapi tak lama Hani
dipanggil. Rasa gugupku makin memuncak, rasa tak percaya diri selalu
terbayang-bayang. “Irma…” “nah itu dia aku yang dipanggil! Yah semoga aku
sukses” gumamku dalam hati. Dengan langkah tak pasti aku harus siap menghampiri
ustadz Rahmi. Tanggapanku salah! Ternyata ustadz Rahmi membetulkan dan
memberitahu hafalanku yang sedikit lupa. Akhirnya talaran itu selesai! Tetapi
setelah bel berbunyi, giliran faro’idl yang harus menalar. Untungnya faro’idl
aku sudah hafal! Setiap hari sekolah disini membuatku sibuk bahkan harus penuh
dengan perjuangan. Setiap hari selalu ada hafalan! Mulai dari Shorof, Faro’idl,
Nahwiyah, Muthola’ah, Hadis, Tafsir. Akh, semua sangat susah!
Teeeeet……teeeet…….
Bel berbunyi. Aku segera ke kelasku yang berada di lantai 2. Kali ini pelajaran
Nahwiyah. Tak lama seorang ustadz datang dan mengucapkan salam. Dia mengabsen
dan menanyakan alamat masing-masing santri. “Irma Maesaroh” ucapnya. Aku merasa
gugup dan tidak tahu harus memberikan alamat yang mana, Cililin atau Langonsari
tempat tinggalku sekarang?
“Orang mana?”
“Cililin…”
“Cililin yang di jalak harupat ke sana? Terus sekarang tinggal
dimana?”
“Iya ustadz. Aku tinggal di langonsari”
“Di langonsari tepatnya dimana? Kan luas…”
Aku bingung menjawabnya karena aku warga baru di sini. Tiba-tiba
Hanna membantuku
“Ustadz, dia tinggal bersama Ustadzah Farida!”
“Oh… Keponakannya? Adiknya Teh Iin bukan?”
“Iya…” sahutku kebingungan. Nama kakakku sangat terkenal dan aku
mulai iri mengetahui kenyataan ini.
Kemudian Ustadz menuliskan dan menerangkan tentang isim dan fi’il.
Tak lama kami disuruh untuk membuat contoh masing-masing lima! Aku yang
keluaran SD kebingungan dan tak tahu sama sekali mufrodat bahasa arab! Sementara
teman-teman yang lain sudah mengumpulkan bahkan sudah dinilai. Aku kebingungan
sendiri, aku menanyakan pada Hanna tapi dia seolah tak peduli padaku. tiba-tiba
Nisyah datang dan memberitahuku.
Malam hari, di
rumah serasa ramai sekali, ada teh Elis dan teh Aini. Teh Elis adalah murid
Tsanawiyyah PPI 03 dan melanjutkan ke Mu’alimin. Teh Elis lebih dulu kenal dan
dekat dengan teh Aini. Dia masih memiliki ibu dan ayah tetapi sudah bercerai.
Karena anak broken home, aku pikir itu membuat teh Elis sangat dekat dengan
bibi bahkan menganggapnya ibu sendiri. Dia bertubuh besar dan sangat gendut.
Aku belum pernah berinteraksi dengannya karena aku tidak bisa berkomunikasi
dengan orang yang belum kenal. Teh Aini juga memiliki ibu dan ayah bahkan masih
bersama dalam atap yang sama. Hehe… Tetapi, orangtuanya sangat mengekang.
Mungkin wajar saja, karena dia berasal dari anak yang kaya dan orangtuanya
sangat ingin anaknya bergaul dengan anak yang sepadan. Tidak seperti bibiku
yang sering perhatian bahkan tidak mengekang teh Elis dan teh Aini yang beliau
anggap seperti anak sendiri. padahal setahuku, tidak boleh menganggap anak jika
mereka masih memiliki orangtua.
Canda dan tawa
terdengar keras dari ruang tamu. Aku dan teh Dini hanya diam dikamar. Entah kenapa
hatiku terasa sakit. Mungkin karena kejadian sore hari tadi. Aku dimarahi saat
Tidak pergi ke warung seperti apa yang bibi suruh. Setelah iklan
drama korea, aku melihat muka bibi yang merah dan bahkan beliau sangat jutek
padaku! Pukul 04.30 aku bersiap pergi ke WC untuk sholat subuh. Kali ini aku
kesiangan! Seharusnya pukul 04.00 aku sudah ada di WC untuk mencuci piring. Aku
segera ke kamar dan sholat subuh. Ketika akan keluar kamar. Aku dengar
percakapan bibi dan teh Aini.
“Bu, kenapa Irma belum bangun?”
“Belum… Males kali! Biarin nanti diguyur sama air biar bangun!”
Aku kaget sekali mendengarnya. Padahal aku kesiangan bukan karena
malas! Dengan rasa amarah ku buka pintu dan segera ke WC. Ketika mencuci
piring, aku merasa sakit hati karena bibi berperasangka buruk pada keponakannya
sendiri! kira-kira sudah satu jam aku mencuci tapi masih saja banyak piring
yang harus ku cuci. Sudah berapakali juga aku mengulang mencuci piring karena
bibi menganggap bahwa piring masih saja kotor. Piring terakhir yang ku cuci.
Alhamdulillah akhirnya selesai! Capek sekali rasanya sampai punggungku sakit
seperti nenek-nenek. Aku bergegas ke kamar untuk mengambil pakaian dan segera
mandi. Selesai mandi aku sudah melihat teh Dini yang hampir selesai dikerudung,
aku segera menyisir rambut dan meminta untuk dikerudung oleh teh Dini. Sekitar
15 menit kerudung telah selesai, rapih sekali. Kemudian aku ke ruang makan dan
siap menyantap makanan. Dengan waktu 10 menit telah ku habiskan. Kali ini aku
kesiangan. Aku bersama teh Dini berangkat bersama. Sesampainya di gerbang aku
berlari ke kelas. Kali ini aku mendapat jadwal piket. Aku segera menyapu
lantai. Pagi hari ini, aku sudah mengeluarkan keringat yang banyak. Rasanya
capek jika terus menjalani kehidupan seperti ini. Siang hari, pertempuran
terjadi antara aku dan Hanna…
“Kamu itu jutek, sombong, terus kikir gak mau kasih tahu aku
jawaban ulangan biologi dan Nahwiyah!”
“Kalau begitu kamu pergi dari bangku ini! Sana! Aku yang menempati
bangku ini!” sahut Hanna sambil mendorong kursiku dengan kakinya. Dia memang
gendut dan memiliki kekuatan yang lebih besar dariku.
“Oke baik aku akan pindah ke bangku belakang!” sahutku marah
Aku pindah ke belakang. Duduk bersama Hani. Dia sangat baik, bahkan
menerimaku apa adanya. Tidak seperti Hanna yang selalu membuat amarahku
memuncak!
Pulang sekolah
aku masih marah. Aku meminta izin pada nenek untuk menelepon ibu, aku
menceritakan semuanya. Semua tentang Hanna, orang yang paling ku benci! Bahkan
orang yang gendut dan musuhku sedunia! Aku juga menceritakan hal ini pada teh
Dini tapi dia hanya tersenyum. Padahal tak ada yang lucu dalam ceritaku! Setelah
itu, aku dan teh Dini mulai bercerita tentang keluh kesah tinggal di sini. Teh
Dini merasa sangat berat bahkan menghadapi teman-temannya yang memiliki sikap
tidak sesuai dengannya. Belum lagi tinggal di rumah yang selalu iri melihat teh
Aini selalu manja pada bibi. Begitu juga denganku, aku merasa tertekan dengan
sikap bibi, sikap Hanna bahkan pelajaran yang makin menumpuk! 27 pelajaran yang
membuatku harus belajar keras tetapi kebiasaanku yang pemalas tidak bisa
dihilangkan. Air mata tak tersadar keluar, teh Dini pun ikut mengeluarkan air
mata. Kami orang yang merasa terjebak di situasi yang tak terkira. Kami juga
merasa rindu akan rumah, dan keluarga. Tetapi tidak mungkin rasanya kami pulang.
Karena begitu banyak tugas dari sekolah! Air mata kami makin keluar dengan
deras. Air mata bersama atas kejadian yang membuat kami stress. Bahkan
membuatku frustasi memikirkannya! Otak seakan tertekan sekali.
Keesokan
harinya, aku meminta izin pada nenek untuk ikut menelepon di telepon rumah. Aku
bawa ke kamar dan teh Dini yang menyuruhku siap memencet tombol untuk
menelepon.
“Mah, janten?”
“Atuh da hoyong pokokna mah!! Tos teu kiat…” sahutnya sambil
mengeluarkan air mata
“Nya atuh. Assalamu’alaikum..”
Aku bertanya kepada teh Dini kenapa menangis. Aku baru tahu jika
teh Dini akhir-akhir ini menelepon untuk meminta pindah sekolah. Aku kaget
sekaligus ingin mengikuti jejaknya. Aku menelepon pada ibu. tetapi jawaban
ibuku menolak mentah-mentah. Setelah telepon ditutup, air mataku kembali
menetes. Aku sudah tidak kuat dengan semua yang terjadi.
Pagihari, aku
berada di depan kelas. Tetapi masih kosong hanya Hani yang ku lihat. Dia
menjadi sahabat terbaikku sekarang. Hani, menanyakan kenapa aku murung. Aku menceritakan
bahwa aku sedang stress berat bahkan setiap hari hanya penderitaan yang ku
rasakan! Pipi sudah basah dengan air mata. Hani, menepuk bahuku dan mengatakan
bahwa aku tak boleh menangis.
***
Panas sekali,
tapi aku tidak peduli seberapa panas bahkan seberapa panjang kemacetan yang
terjadi. Aku tetap melangkahkan kaki ke rumah dengan pikiran yang memikirkan
beberapa masalah. Sesampainya di rumah aku bergegas ke kamar, tapi terlihat suara
orang yang mengepak barang. Ku buka pintu dan ternyata teh Dini sedang
memasukan beberapa baju pada sebuah tas besar. Aku kaget sekali melihatnya.
“Teh Dini mau ngapain?”
“Irma, akhirnya orangtua teteh setuju! Dan ayah teteh datang ke
sini untuk menjemput pindah ke sekolah baru!”
“Tapi kenapa teh Dini berani meninggalkanku sendirian?” gumamku
dalam hati
Aku merasa sendiri dan tak ka nada lagi teman seperti teh Dini yang
selalu menjadi kakak untukku bahkan membuatku merasa tak kesepian. Aku cemberut
melihatnya berhasil membereskan seluruh barangnya. Aku masih kaget dan tak
menyangka.
Sore ini
terlihat sepi sekali, aku duduk merenung di kamar sendirian. Aku menangis
merindukan sesosok kakak bagiku. Kali ini aku kehilangan orang yang ku mulai
sadar bahwa aku menyayanginya. Aku tak tahu sekarang apa yang harus ku lakukan.
Bahkan aku sekarang harus mengarungi hidup sendirian tanpa seseorang yang ada
disampingku! Air mataku jatuh kembali, tapi bukan air mata bersama. Kali ini
air mata kesepian, air mata kebingungan dan air mata penat dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar