Halaman

Sabtu, 06 Oktober 2012

Novel : Bab 3 Air mata bersama


Air mata bersama
              Hari sabtu, hari awal mengarungi tantangan. Hari ini begitu senang, aku bisa memakai pakaian Tsanawiyyah yang warnanya cream dan rok yang berwarna coklat. Ketika siap dikerudung, aku menanti teh Dini yang sedang memakai kerudung putihnya. Dia terlihat mahir sekali dalam memakai. Giliran aku yang dikerudung oleh teh Dini. Aku tak bisa dan tak sempat latihan memakai kerudung hoas ini. Kerudung yang aku pakai panjangnya 1,5 m cukup panjang. Warnanya juga kuning agak kecoklatan. Setelah belit sana sini, akhirnya aku sudah dikerudung. Hasilnya memuaskan rapih sekali. Saat aku menuju kelas yang baru yaitu kelas 7B, di sana  sudah terlihat Hanna yang duduk sendiri. Aku sudah berjanji untuk duduk bersama dan Hanna yang menempati tempat duduk duluan. Dengan senyuman yang penuh bahagia, aku salam dan duduk disamping Hanna.
“Irma, kamu sangat rapih dikerudungnya? Padahal aku saja masih kesulitan untuk memakai”
“Iya donk, karena aku dikerudung oleh teh Dini hehe…” senyumku lebar
“Em… pantesan!”
Tiba-tiba bel berbunyi. Semua murid segera masuk dan membaca doa belajar bersama kemudian membaca al-qur’an. Kami sudah tahu kegiatan yang mesti kami patuhi. Ketika ta’aruf, kakak kelas memberitahu dan menuliskan doa belajar. Tak lama seorang ustadzah masuk ke kelas baruku. Ustadzah itu member salam dan memperkenalkan namanya. Nama beliau adalah ustadz Rahmi.
“Em, sebelum memulai pelajaran shorof, saya ingin bertanya. Siapa yang disini lulusan SD yang tidak mengikuti Diniyyah terlebih dahulu?”
Saya dan temanku yang bernama Herti mengangkat tangan.
“Jadi Cuman dua orang ya. Saya akan memberikan keringanan kepada lulusan SD dalam menalar ketika pelajaran saya. Wajar, jika lulusan SD pasti kesulitan menghafal” sahutnya
Aku begitu senang sekali ada ustadzah yang begitu mengertiku. Sebagai lulusan SD dan pernah mengikuti diniyyah kemudian tidak ikut lagi, aku selalu sulit dalam hafalan.
              Setelah bel berbunyi berakhir, aku menghela nafas dalam-dalam. Baru saja hari pertama sudah diberi tugas talaran sekitar satu lembar setengah! Apalagi tulisannya tidak hanya bahasa Indonesia juga bahasa arab.
              Pulang sekolah, aku begitu berat dengan banyak tugas. Ternyata benar apa yang kakak perempuanku ucapkan bahwa disini banyak talaran! Tapi aku belum menyerah untuk sekolah di Pesantren. Di Pameungpeuk sangat ramai sekali. Bahkan terkadang menjadi macet karena banyak murid yang menyebrang. Suasana disini juga panas sekali berbeda dengan kampung halamanku yang masih sejuk dan tidak sepanas suasana di sini! Saat langkah menginjak rumah, aku mengucapkan salam dan segera ke kamar.
              Sore hari, aku mencoba membuka buku shorof. Helaan nafas sudah keluar beberapa kali. Tapi aku harus hafal karena ini kewajibanku. Meski ku tahu talarannya minggu depan tetapi, aku tidak bisa menghafal dalam seharian dan ku coba menghafal seminggu dimulai hari ini. Berulangkali aku baca masih saja belum bisa, bahkan separagraf pun masih tidak hafal. Sudah beragam cara ku lakukan berjalan bolak-balik, sambil mengaca dan membacanya dengan suara yang cukup keras. Kemudian aku menyerah untuk menghafal dan menutup buku. Tak lama, aku lihat teh Dini yang masuk kamar. Aku segera menyusulnya. Air mata yang turun dari pipinya membuat suasana semakin mencekam. Aku tak mengerti yang terjadi dan teh Dini bersedia membalas pertanyaanku.
“Kamu tahu? Aku sakit hati jika melihat sikap bibi yang selalu membeda-bedakan antara aku dan teh Aini”
Aku masih tak mengerti dengan perkataannya. Yang membuatku bingung perlukah mendapat kasih sayang dari bibi!
“Siapa teh Aini?”
“Teh Aini itu yang tadi ada di rumah. Ketika aku menghampiri bibi, teh Aini sedang bermanja dengannya dan membuatku tersingkir”
“Teh Aini itu siapanya bibi” aku mencoba mengulang pertanyaan dan menambahkan kata-kata
“Teh Aini itu alumni Mu’alimin. Dia sangat dekat dengan bibi. Bahkan sudah dianggapnya sebagai ibunya”
“Ooh…” sahutku yang sudah paham
Tapi pertanyaan itu masih bergelayut dalam hati “Apa perlu mendapat kasih sayang dari bibiku? Kalau perlu buat apa?”.
Melihat air mata yang deras keluar membuat hatiku mencekam. Aku baru melihat teh Dini menangis seperti ini.
              Seminggu kemudian, aku siap menalar ilmu shorof. Tetapi aku masih kesal dengan diriku yang masih terbata-bata. Ketika Hanna terpanggil, aku merasa deg-degan. Aku tahu masih ada Hani yang mesti dipanggil ke depan tetapi tak lama Hani dipanggil. Rasa gugupku makin memuncak, rasa tak percaya diri selalu terbayang-bayang. “Irma…” “nah itu dia aku yang dipanggil! Yah semoga aku sukses” gumamku dalam hati. Dengan langkah tak pasti aku harus siap menghampiri ustadz Rahmi. Tanggapanku salah! Ternyata ustadz Rahmi membetulkan dan memberitahu hafalanku yang sedikit lupa. Akhirnya talaran itu selesai! Tetapi setelah bel berbunyi, giliran faro’idl yang harus menalar. Untungnya faro’idl aku sudah hafal! Setiap hari sekolah disini membuatku sibuk bahkan harus penuh dengan perjuangan. Setiap hari selalu ada hafalan! Mulai dari Shorof, Faro’idl, Nahwiyah, Muthola’ah, Hadis, Tafsir. Akh, semua sangat susah!
              Teeeeet……teeeet……. Bel berbunyi. Aku segera ke kelasku yang berada di lantai 2. Kali ini pelajaran Nahwiyah. Tak lama seorang ustadz datang dan mengucapkan salam. Dia mengabsen dan menanyakan alamat masing-masing santri. “Irma Maesaroh” ucapnya. Aku merasa gugup dan tidak tahu harus memberikan alamat yang mana, Cililin atau Langonsari tempat tinggalku sekarang?
“Orang mana?”
“Cililin…”
“Cililin yang di jalak harupat ke sana? Terus sekarang tinggal dimana?”
“Iya ustadz. Aku tinggal di langonsari”
“Di langonsari tepatnya dimana? Kan luas…”
Aku bingung menjawabnya karena aku warga baru di sini. Tiba-tiba Hanna membantuku
“Ustadz, dia tinggal bersama Ustadzah Farida!”
“Oh… Keponakannya? Adiknya Teh Iin bukan?”
“Iya…” sahutku kebingungan. Nama kakakku sangat terkenal dan aku mulai iri mengetahui kenyataan ini.
Kemudian Ustadz menuliskan dan menerangkan tentang isim dan fi’il. Tak lama kami disuruh untuk membuat contoh masing-masing lima! Aku yang keluaran SD kebingungan dan tak tahu sama sekali mufrodat bahasa arab! Sementara teman-teman yang lain sudah mengumpulkan bahkan sudah dinilai. Aku kebingungan sendiri, aku menanyakan pada Hanna tapi dia seolah tak peduli padaku. tiba-tiba Nisyah datang dan memberitahuku.
              Malam hari, di rumah serasa ramai sekali, ada teh Elis dan teh Aini. Teh Elis adalah murid Tsanawiyyah PPI 03 dan melanjutkan ke Mu’alimin. Teh Elis lebih dulu kenal dan dekat dengan teh Aini. Dia masih memiliki ibu dan ayah tetapi sudah bercerai. Karena anak broken home, aku pikir itu membuat teh Elis sangat dekat dengan bibi bahkan menganggapnya ibu sendiri. Dia bertubuh besar dan sangat gendut. Aku belum pernah berinteraksi dengannya karena aku tidak bisa berkomunikasi dengan orang yang belum kenal. Teh Aini juga memiliki ibu dan ayah bahkan masih bersama dalam atap yang sama. Hehe… Tetapi, orangtuanya sangat mengekang. Mungkin wajar saja, karena dia berasal dari anak yang kaya dan orangtuanya sangat ingin anaknya bergaul dengan anak yang sepadan. Tidak seperti bibiku yang sering perhatian bahkan tidak mengekang teh Elis dan teh Aini yang beliau anggap seperti anak sendiri. padahal setahuku, tidak boleh menganggap anak jika mereka masih memiliki orangtua.
              Canda dan tawa terdengar keras dari ruang tamu. Aku dan teh Dini hanya diam dikamar. Entah kenapa hatiku terasa sakit. Mungkin karena kejadian sore hari tadi. Aku dimarahi saat    
Tidak pergi ke warung seperti apa yang bibi suruh. Setelah iklan drama korea, aku melihat muka bibi yang merah dan bahkan beliau sangat jutek padaku! Pukul 04.30 aku bersiap pergi ke WC untuk sholat subuh. Kali ini aku kesiangan! Seharusnya pukul 04.00 aku sudah ada di WC untuk mencuci piring. Aku segera ke kamar dan sholat subuh. Ketika akan keluar kamar. Aku dengar percakapan bibi dan teh Aini.
“Bu, kenapa Irma belum bangun?”
“Belum… Males kali! Biarin nanti diguyur sama air biar bangun!”
Aku kaget sekali mendengarnya. Padahal aku kesiangan bukan karena malas! Dengan rasa amarah ku buka pintu dan segera ke WC. Ketika mencuci piring, aku merasa sakit hati karena bibi berperasangka buruk pada keponakannya sendiri! kira-kira sudah satu jam aku mencuci tapi masih saja banyak piring yang harus ku cuci. Sudah berapakali juga aku mengulang mencuci piring karena bibi menganggap bahwa piring masih saja kotor. Piring terakhir yang ku cuci. Alhamdulillah akhirnya selesai! Capek sekali rasanya sampai punggungku sakit seperti nenek-nenek. Aku bergegas ke kamar untuk mengambil pakaian dan segera mandi. Selesai mandi aku sudah melihat teh Dini yang hampir selesai dikerudung, aku segera menyisir rambut dan meminta untuk dikerudung oleh teh Dini. Sekitar 15 menit kerudung telah selesai, rapih sekali. Kemudian aku ke ruang makan dan siap menyantap makanan. Dengan waktu 10 menit telah ku habiskan. Kali ini aku kesiangan. Aku bersama teh Dini berangkat bersama. Sesampainya di gerbang aku berlari ke kelas. Kali ini aku mendapat jadwal piket. Aku segera menyapu lantai. Pagi hari ini, aku sudah mengeluarkan keringat yang banyak. Rasanya capek jika terus menjalani kehidupan seperti ini. Siang hari, pertempuran terjadi antara aku dan Hanna…
“Kamu itu jutek, sombong, terus kikir gak mau kasih tahu aku jawaban ulangan biologi dan Nahwiyah!”
“Kalau begitu kamu pergi dari bangku ini! Sana! Aku yang menempati bangku ini!” sahut Hanna sambil mendorong kursiku dengan kakinya. Dia memang gendut dan memiliki kekuatan yang lebih besar dariku.
“Oke baik aku akan pindah ke bangku belakang!” sahutku marah
Aku pindah ke belakang. Duduk bersama Hani. Dia sangat baik, bahkan menerimaku apa adanya. Tidak seperti Hanna yang selalu membuat amarahku memuncak!
              Pulang sekolah aku masih marah. Aku meminta izin pada nenek untuk menelepon ibu, aku menceritakan semuanya. Semua tentang Hanna, orang yang paling ku benci! Bahkan orang yang gendut dan musuhku sedunia! Aku juga menceritakan hal ini pada teh Dini tapi dia hanya tersenyum. Padahal tak ada yang lucu dalam ceritaku! Setelah itu, aku dan teh Dini mulai bercerita tentang keluh kesah tinggal di sini. Teh Dini merasa sangat berat bahkan menghadapi teman-temannya yang memiliki sikap tidak sesuai dengannya. Belum lagi tinggal di rumah yang selalu iri melihat teh Aini selalu manja pada bibi. Begitu juga denganku, aku merasa tertekan dengan sikap bibi, sikap Hanna bahkan pelajaran yang makin menumpuk! 27 pelajaran yang membuatku harus belajar keras tetapi kebiasaanku yang pemalas tidak bisa dihilangkan. Air mata tak tersadar keluar, teh Dini pun ikut mengeluarkan air mata. Kami orang yang merasa terjebak di situasi yang tak terkira. Kami juga merasa rindu akan rumah, dan keluarga. Tetapi tidak mungkin rasanya kami pulang. Karena begitu banyak tugas dari sekolah! Air mata kami makin keluar dengan deras. Air mata bersama atas kejadian yang membuat kami stress. Bahkan membuatku frustasi memikirkannya! Otak seakan tertekan sekali.
              Keesokan harinya, aku meminta izin pada nenek untuk ikut menelepon di telepon rumah. Aku bawa ke kamar dan teh Dini yang menyuruhku siap memencet tombol untuk menelepon.
“Mah, janten?”
“Atuh da hoyong pokokna mah!! Tos teu kiat…” sahutnya sambil mengeluarkan air mata
“Nya atuh. Assalamu’alaikum..”
Aku bertanya kepada teh Dini kenapa menangis. Aku baru tahu jika teh Dini akhir-akhir ini menelepon untuk meminta pindah sekolah. Aku kaget sekaligus ingin mengikuti jejaknya. Aku menelepon pada ibu. tetapi jawaban ibuku menolak mentah-mentah. Setelah telepon ditutup, air mataku kembali menetes. Aku sudah tidak kuat dengan semua yang terjadi.
              Pagihari, aku berada di depan kelas. Tetapi masih kosong hanya Hani yang ku lihat. Dia menjadi sahabat terbaikku sekarang. Hani, menanyakan kenapa aku murung. Aku menceritakan bahwa aku sedang stress berat bahkan setiap hari hanya penderitaan yang ku rasakan! Pipi sudah basah dengan air mata. Hani, menepuk bahuku dan mengatakan bahwa aku tak boleh menangis.
***
              Panas sekali, tapi aku tidak peduli seberapa panas bahkan seberapa panjang kemacetan yang terjadi. Aku tetap melangkahkan kaki ke rumah dengan pikiran yang memikirkan beberapa masalah. Sesampainya di rumah aku bergegas ke kamar, tapi terlihat suara orang yang mengepak barang. Ku buka pintu dan ternyata teh Dini sedang memasukan beberapa baju pada sebuah tas besar. Aku kaget sekali melihatnya.
“Teh Dini mau ngapain?”
“Irma, akhirnya orangtua teteh setuju! Dan ayah teteh datang ke sini untuk menjemput pindah ke sekolah baru!”
“Tapi kenapa teh Dini berani meninggalkanku sendirian?” gumamku dalam hati
Aku merasa sendiri dan tak ka nada lagi teman seperti teh Dini yang selalu menjadi kakak untukku bahkan membuatku merasa tak kesepian. Aku cemberut melihatnya berhasil membereskan seluruh barangnya. Aku masih kaget dan tak menyangka.
              Sore ini terlihat sepi sekali, aku duduk merenung di kamar sendirian. Aku menangis merindukan sesosok kakak bagiku. Kali ini aku kehilangan orang yang ku mulai sadar bahwa aku menyayanginya. Aku tak tahu sekarang apa yang harus ku lakukan. Bahkan aku sekarang harus mengarungi hidup sendirian tanpa seseorang yang ada disampingku! Air mataku jatuh kembali, tapi bukan air mata bersama. Kali ini air mata kesepian, air mata kebingungan dan air mata penat dalam hati. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar