“ Saat hati terluka, semua berkata lain. Tak bisakah aku
mengelak dengan kenyataan yang begitu pahit? Semua serasa begitu kekurangan
pada diriku…”
Suatu hari yang
sangat indah dan cerah, Anna, Rara dan Qieva berjalan bersama menuju sekolah.
Mereka bertiga menatap sekolah dengan penuh kebanggaan. Hari ini, pelajaran
penjas yang pertama. Pak Encep menjelaskan tentang tubuh yang sehat juga tubuh
yang ideal.
“Tubuh yang ideal dari tinggi dan berat badan yang cukup sesuai
dengan umur kalian. Maaf berapa tinggi kamu?” sahutnya menunjukku
“Em, kalau gak salah 140 pak” jawabku dengan suara rendah
“140?”
“Iya pak, 140…” aku mulai berkeringat karena aku sadar jika aku
paling terpendek di kelas.
“Sabar, Ra!” sahut Qieva
“Kalau berat badanmu?” Tanya pak Encep lagi
“35 Pak..”
“Masih kurang ideal!”
Aku memang terlalu pendek. Diantara teman-teman aku seperti anak
kecil dengan tinggiku yang jauh dari mereka yang memiliki tinggi 150 ke atas.
Toot…..toooot….
bel berbunyi panjang. Kami semua istirahat. Ketika menikmati makanan yang telah
dibeli, aku mengobrol dengan teman-teman. Kali ini, aku sangat sadar, jika aku
pendek. Aku harus menengadahkan wajahku, untuk berbicara pada teman-teman. Itu
membuatku sakit leher. Tetapi aku senang mereka tidak mempersoalkan tinggi
badanku.
***
Hari ini, aku libur karena tanggal di kalender dicetak
dengan warna merah. Kebetulan, hari ini adalah hari pasar! Di daerahku, pasar
buka seminggu tiga kali yaitu hari senin, hari rabu dan hari sabtu. Aku ikut
menemani ibu yang akan pergi ke pasar. Dengan langkah yang pasti, aku ikuti
dibelakang ibu. Sesampainya di pasar, ibu masuk ke tukang perhiasan. Ibu
memenuhi permintaanku yang ingin beli cincin. Beragam model yang aku lihat. Dan
ku coba satu persatu, tapi sayang model yang aku pilih tidak muat di jemariku!
Sembari aku memilih model yang lain, pedagang perhiasan berbicara pada aku dan
Ibu.
“Neng, kelas berapa?” sahut pedagang
“Kelas 10” sahutku singkat yang sedang asyik memilah model
cincin
“Kelas 10 itu SMP ya?”
“Bukan Emang! Kelas 10 itu Kelas 1 Aliyah!” sahut Ibu
“Apa? Aliyah? Ah, masa! Neng ini mah SMP!”
Tiba-tiba ada seorang Ibu yang menghampiri kami.
“Mang mau beli gelang”
“Oh. Iya lihat-lihat aja dulu. Neng udah ada yang cocok?”
“Coba yang ini Mang?” jawabku sembari menunjuk cicin yang ada
dalam etalase
Tetapi masih tidak muat dijemariku. Aku kesal sekali karena itu
model yang aku sukai.
“Neng kayaknya yang ini cocok?” sembari menyodorkan sebuah
cincin
Aku pakai cincin itu dan ternyata pas di jemariku. Tapi sayang,
modelnya terlalu biasa.
“Neng kelas berapa?” Tanya seorang Ibu yang juga pembeli
“Kelas 1 Aliyah bu..”
“Ah masa! Paling kelas 6 SD!”
Aku makin merasa kesal karena tidak seperti seorang remaja.
Peristiwa-peristiwa
seperti itu sering terjadi. Aku merasa kesal sekali. Sampai di suatu istirahat,
aku meluapkan kekesalanku.
“Kenapa semua orang menyamakanku dengan anak kecil! Jelas-jelas
aku sudah remaja!”
“Sabar Ra” sahut Qieva
“Sabar? Aku mana bisa sabar! Mereka semua mempersoalkan badanku
yang kecil! Aku ingat dulu, aku ditolak masuk SD karena aku yang terlihat masih
kecil! Padahal tubuhku memang kecil! Umurku kan sudah pas”
“Berarti kamu umurnya lebih dari kami? Kamu lahir tahun berapa?”
tanya Anna
“Tahun 1994”
“Apa?? Kamu berarti paling tua diantara kami!” sahut
Andien, teman sekelasku.
“Iya…” jawabku dengan suara rendah
“Aku tak menyangka kamu paling tua” Tiara ikut berkomentar
“Selama ini, kami selalu menyebutmu ade. Dan ternyata kamu
paling tua, kalau begitu kamu itu teteh!” sahut Neny
“Hey, panggil Rara teteh mulai sekarang!” teriak Dony yang
diam-diam menguping pembicaraan kami
Aku malu dengan umurku yang lebih tua dari mereka. Dan aku hanya
diam membisu mulai saat itu.
Melihat langit
biru, membuatku tersenyum manis. Tetapi bertolak belakang dengan kehidupanku
yang tak seindah langit. Aku ingin sekali memiliki umur yang setara dengan mereka.
Bahkan aku ingin tinggiku setara dengan mereka! Jika aku tinggi, aku tak perlu
bahan ejekan teman-teman, aku juga bahkan tak perlu menengadahkan wajah yang
membuatku sakit leher.
Malam hari, aku
melihat langit-langit kamarku. Rasanya begitu lemah tak berdaya mengetahui
semua kekuranganku. Aku bahkan tak mau melihat diriku dalam kaca. Kenapa aku
banyak sekali kekurangan! Aku pendek, tubuhku kecil, wajahku bulat, pipiku
tembem dan aku sering dikira anak SD. Bahkan mungkin anak SD sekarang melebihi diriku!
Tiba-tiba suara pintu kamar terbuka. Dibalik pintu, ada Ibu yang
menghampiriku.
“Ada apa Ra?”
“Tidak ada apa-apa!” jawabku ketus
“Ibu tahu ini bukan dirimu! Ayo cerita!”
“Em, iya deh. Aku kesal bu! Karena aku pendek, wajahku gak
cantik, pipi tembem, tubuhku mungil diantara yang lain. Aku selalu tak pede
jika diapit oleh Anna yang tinggi dan Qieva yang cantik!”
“Kenapa bilang begitu? Kamu harus bersyukur!”
“Bersyukur? Tapi kan aku sering disangka anak kecil. Dan aku
murid terpendek di kelas tetapi juga aku memiliki umur yang paling tua!”
“Harus bersyukur donk! Kan Allah swt yang menciptakanmu. Tentu
harus bersyukur karena kamu masih memiliki tubuh yang sempurna tidak cacat!
Kalau disangka anak kecil, harus bangga!”
“Kenapa bangga bu?”
“Karena kamu berarti awet muda. Hehe….” Ibu tersenyum
“Iya juga bu! Aku awet muda! Asyik….”
“Kemudian soal kamu yang paling tua, paling pendek tapi kamu
juga paling pinter dikelas! Jangan lupakan itu!”
“Aku gak pinter kok!”
“Enggak? Terus itu kamu ranking 1 apa? Kamu kan pinter!”
“Iya yah…hehe” aku mulai tersenyum
“Asyik….asyik….asyik… aku awet muda! Makasih Ibu” riangku sambil
memeluk Ibu
Di sekolah, aku
terlihat ceria dan menebar senyumanku yang manis. Hehe…. Aku mulai percaya pada
diriku sendiri dan aku akan menghargai apa yang ada terjadi tubuhku!
“Hari ini kamu Rara…” sahut Anna
“Aku memang Rara. Memang kemarin aku arwah ya?” sahutku yang
tidak mengerti
“Maksudku, kamu hari ini bersikap seperti seorang Rara. Tidak
kaya kemarin kerjanya cemberut terus!” jelas Anna
“Rara yang ku kenal juga periang dan semangat tidak seperti
kemarin yang menyebalkan sering mengeluh” tambah Qieva
“Iya donk. Hari ini aku udah dapet pencerahan!”
“Maksudmu?” sahut Anna
“Iya, aku dapat pencerahan dari Ibuku. Bahwa kesimpulannya aku
itu awet muda!”
“Apa?” Tanya Anna
“Awet muda!!!!”
Anna dan Qieva tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir itu lucu
karena Rara menjadi tidak cemberut dengan disebut awet muda oleh ibunya.
“Apa sih? Kalian sirik aja aku awet muda!”
Aku senang jika
aku tahu bahwa aku awet muda. Dan jika teman-teman menjadikanku bahan candaan
aku akan menjawab semua itu dengan “Awet muda…”. Seperti yang dilakukan Anna
dan Qieva, mereka tertawa terbahak-bahak. Aku pikir mereka semua iri atau
mungkin mereka merasa candaanku lebih ampuh untuk membuat mereka tertawa
senang.
Lama kelamaan aku
tahu, kenapa aku dapat berubah begitu cepat dari rasa sedih. Aku kira karena
kata “Awet muda”. Kata yang merupakan sebuah kata positif di dalam pikiran
kalian. Dan itulah hidup, harus memasukan kata-kata positif saat mengetahui
kekuranganmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar