Halaman

Sabtu, 06 Oktober 2012

(Novel)Bab 5: Awet Muda...?






“ Saat hati terluka, semua berkata lain. Tak bisakah aku mengelak dengan kenyataan yang begitu pahit? Semua serasa begitu kekurangan pada diriku…”
          Suatu hari yang sangat indah dan cerah, Anna, Rara dan Qieva berjalan bersama menuju sekolah. Mereka bertiga menatap sekolah dengan penuh kebanggaan. Hari ini, pelajaran penjas yang pertama. Pak Encep menjelaskan tentang tubuh yang sehat juga tubuh yang ideal.
“Tubuh yang ideal dari tinggi dan berat badan yang cukup sesuai dengan umur kalian. Maaf berapa tinggi kamu?” sahutnya menunjukku
“Em, kalau gak salah 140 pak” jawabku dengan suara rendah
“140?”
“Iya pak, 140…” aku mulai berkeringat karena aku sadar jika aku paling terpendek di kelas.
“Sabar, Ra!” sahut Qieva
“Kalau berat badanmu?” Tanya pak Encep lagi
“35 Pak..”
“Masih kurang ideal!”
Aku memang terlalu pendek. Diantara teman-teman aku seperti anak kecil dengan tinggiku yang jauh dari mereka yang memiliki tinggi 150 ke atas.
          Toot…..toooot…. bel berbunyi panjang. Kami semua istirahat. Ketika menikmati makanan yang telah dibeli, aku mengobrol dengan teman-teman. Kali ini, aku sangat sadar, jika aku pendek. Aku harus menengadahkan wajahku, untuk berbicara pada teman-teman. Itu membuatku sakit leher. Tetapi aku senang mereka tidak mempersoalkan tinggi badanku.
***
          Hari ini,  aku libur karena tanggal di kalender dicetak dengan warna merah. Kebetulan, hari ini adalah hari pasar! Di daerahku, pasar buka seminggu tiga kali yaitu hari senin, hari rabu dan hari sabtu. Aku ikut menemani ibu yang akan pergi ke pasar. Dengan langkah yang pasti, aku ikuti dibelakang ibu. Sesampainya di pasar, ibu masuk ke tukang perhiasan. Ibu memenuhi permintaanku yang ingin beli cincin. Beragam model yang aku lihat. Dan ku coba satu persatu, tapi sayang model yang aku pilih tidak muat di jemariku! Sembari aku memilih model yang lain, pedagang perhiasan berbicara pada aku dan Ibu.
“Neng, kelas berapa?” sahut pedagang
“Kelas 10” sahutku singkat yang sedang asyik memilah model cincin
“Kelas 10 itu SMP ya?”
“Bukan Emang! Kelas 10 itu Kelas 1 Aliyah!” sahut Ibu
“Apa? Aliyah? Ah, masa! Neng ini mah SMP!”
Tiba-tiba ada seorang Ibu yang menghampiri kami.
“Mang mau beli gelang”
“Oh. Iya lihat-lihat aja dulu. Neng udah ada yang cocok?”
“Coba yang ini Mang?” jawabku sembari menunjuk cicin yang ada dalam etalase
Tetapi masih tidak muat dijemariku. Aku kesal sekali karena itu model yang aku sukai.
“Neng kayaknya yang ini cocok?” sembari menyodorkan sebuah cincin
Aku pakai cincin itu dan ternyata pas di jemariku. Tapi sayang, modelnya terlalu biasa.
“Neng kelas berapa?” Tanya seorang Ibu yang juga pembeli
“Kelas 1 Aliyah bu..”
“Ah masa! Paling kelas 6 SD!”
Aku makin merasa kesal karena tidak seperti seorang remaja.
          Peristiwa-peristiwa seperti itu sering terjadi. Aku merasa kesal sekali. Sampai di suatu istirahat, aku meluapkan kekesalanku.
“Kenapa semua orang menyamakanku dengan anak kecil! Jelas-jelas aku sudah remaja!”
“Sabar Ra” sahut Qieva
“Sabar? Aku mana bisa sabar! Mereka semua mempersoalkan badanku yang kecil! Aku ingat dulu, aku ditolak masuk SD karena aku yang terlihat masih kecil! Padahal tubuhku memang kecil! Umurku kan sudah pas”
“Berarti kamu umurnya lebih dari kami? Kamu lahir tahun berapa?” tanya Anna
“Tahun 1994”
“Apa?? Kamu berarti paling tua diantara kami!” sahut Andien,  teman sekelasku.
“Iya…” jawabku dengan suara rendah
“Aku tak menyangka kamu paling tua” Tiara ikut berkomentar
“Selama ini, kami selalu menyebutmu ade. Dan ternyata kamu paling tua, kalau begitu kamu itu teteh!” sahut Neny
“Hey, panggil Rara teteh mulai sekarang!” teriak Dony yang diam-diam menguping pembicaraan kami
Aku malu dengan umurku yang lebih tua dari mereka. Dan aku hanya diam membisu mulai saat itu.
          Melihat langit biru, membuatku tersenyum manis. Tetapi bertolak belakang dengan kehidupanku yang tak seindah langit. Aku ingin sekali memiliki umur yang setara dengan mereka. Bahkan aku ingin tinggiku setara dengan mereka! Jika aku tinggi, aku tak perlu bahan ejekan teman-teman, aku juga bahkan tak perlu menengadahkan wajah yang membuatku sakit leher.
          Malam hari, aku melihat langit-langit kamarku. Rasanya begitu lemah tak berdaya mengetahui semua kekuranganku. Aku bahkan tak mau melihat diriku dalam kaca. Kenapa aku banyak sekali kekurangan! Aku pendek, tubuhku kecil, wajahku bulat, pipiku tembem dan aku sering dikira anak SD. Bahkan mungkin anak SD sekarang melebihi diriku!
Tiba-tiba suara pintu kamar terbuka. Dibalik pintu, ada Ibu yang menghampiriku.
“Ada apa Ra?”
“Tidak ada apa-apa!” jawabku ketus
“Ibu tahu ini bukan dirimu! Ayo cerita!”
“Em, iya deh. Aku kesal bu! Karena aku pendek, wajahku gak cantik, pipi tembem, tubuhku mungil diantara yang lain. Aku selalu tak pede jika diapit oleh Anna yang tinggi dan Qieva yang cantik!”
“Kenapa bilang begitu? Kamu harus bersyukur!”
“Bersyukur? Tapi kan aku sering disangka anak kecil. Dan aku murid terpendek di kelas tetapi juga aku memiliki umur yang paling tua!”
“Harus bersyukur donk! Kan Allah swt yang menciptakanmu. Tentu harus bersyukur karena kamu masih memiliki tubuh yang sempurna tidak cacat! Kalau disangka anak kecil, harus bangga!”
“Kenapa bangga bu?”
“Karena kamu berarti awet muda. Hehe….” Ibu tersenyum
“Iya juga bu! Aku awet muda! Asyik….”
“Kemudian soal kamu yang paling tua, paling pendek tapi kamu juga paling pinter dikelas! Jangan lupakan itu!”
“Aku gak pinter kok!”
“Enggak? Terus itu kamu ranking 1 apa? Kamu kan pinter!”
“Iya yah…hehe” aku mulai tersenyum
“Asyik….asyik….asyik… aku awet muda! Makasih Ibu” riangku sambil memeluk Ibu
          Di sekolah, aku terlihat ceria dan menebar senyumanku yang manis. Hehe…. Aku mulai percaya pada diriku sendiri dan aku akan menghargai apa yang ada terjadi tubuhku!
“Hari ini kamu Rara…” sahut Anna
“Aku memang Rara. Memang kemarin aku arwah ya?” sahutku yang tidak mengerti
“Maksudku, kamu hari ini bersikap seperti seorang Rara. Tidak kaya kemarin kerjanya cemberut terus!” jelas Anna
“Rara yang ku kenal juga periang dan semangat tidak seperti kemarin yang menyebalkan sering mengeluh” tambah Qieva
“Iya donk. Hari ini aku udah dapet pencerahan!”
“Maksudmu?” sahut Anna
“Iya, aku dapat pencerahan dari Ibuku. Bahwa kesimpulannya aku itu awet muda!”
“Apa?” Tanya Anna
“Awet muda!!!!”
Anna dan Qieva tertawa terbahak-bahak. Mereka pikir itu lucu karena Rara menjadi tidak cemberut dengan disebut awet muda oleh ibunya.
“Apa sih? Kalian sirik aja aku awet muda!”
          Aku senang jika aku tahu bahwa aku awet muda. Dan jika teman-teman menjadikanku bahan candaan aku akan menjawab semua itu dengan “Awet muda…”. Seperti yang dilakukan Anna dan Qieva, mereka tertawa terbahak-bahak. Aku pikir mereka semua iri atau mungkin mereka merasa candaanku lebih ampuh untuk membuat mereka tertawa senang.
          Lama kelamaan aku tahu, kenapa aku dapat berubah begitu cepat dari rasa sedih. Aku kira karena kata “Awet muda”. Kata yang merupakan sebuah kata positif di dalam pikiran kalian. Dan itulah hidup, harus memasukan kata-kata positif saat mengetahui kekuranganmu.     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar